Banda Aceh – Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) bekerjasama dengan Regional Support Office (RSO) The Bali Process menyelenggarakan “Pelatihan Workshop bagi Petugas Garis Depan tentang Penyaringan dan Pengacuan Migran Rentan” yang berlangsung di Banda Aceh dari tanggal 10 s.d. 14 Juli 2023. Pelatihan ini diikuti oleh 27 orang peserta yang berasal antara lain dari Kemenpolhukam RI, Kementerian Luar Negeri RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI, Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, Bareskrim Polri, Polda Aceh, Imigrasi Aceh, Bakamla Aceh, Pangkalan TNI AL yang berada di Aceh dan Dinas Sosial Provinsi Aceh.
Komnas HAM sebagai salah satu lembaga hak asasi manusia yang memberikan atensi terhadap kelompok migran rentan juga turut serta dalam pelatihan ini. Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama, diundang sebagai pembicara kunci ahli yang secara khusus menyampaikan materi tentang “Perlindungan Pengungsi, Pekerja Migran, Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Manusia Berdasarkan Perspektif HAM”.
Sepriady menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan, perlindungan dan harkat martabat manusia. Selain itu, dalam materi tersebut Sepriady juga menjelaskan tentang Trend Migrasi Tak Teratur, Data Jumlah Pengungsi Rohingya Terdaftar oleh UNHCR di Aceh, Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan anggota keluarganya, berbagai undang-undang nasional mengenai Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Penanganan Pengungsi, Pengawasan Keimigrasian, Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, termasuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Menindak dan Menghukum Perdagangan Orang terutama Perempuan dan Anak-Anak Melengkapi Konvensi PBB mengenai Tindak Pidana Internasional yang terorganisir, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2009 tentang Penempatan dan Perlindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Potensi pelanggaran HAM dan upaya-upaya yang telah dilakukan Komnas HAM dalam penanganan Pengungsi Rohingya yang masuk ke Aceh juga disampaikan pada sesi tersebut.
“Pekerja Migran Indonesia, Awak Kapal Niaga dan Awak Kapal Perikanan Migran harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan, dan kerja paksa, korban kekerasan dan kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia dan perlakuan lain yang melanggar HAM” tegas Sepriady. Hal tersebut diungkapkannya sebagai kata kunci bagi perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Lebih lanjut Sepriady
menambahkan bahwa bekerja merupakan HAM yang wajib
dijunjung tinggi, dihormati dan dijamin penegakannya sesuai UUD 1945. Oleh karena
itu, Negara menjamin setiap hak, kesempatan dan memberikan perlindungan kepada
setiap Warga negara tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan dan
penghasilan yang layak, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai keahlian,
keterampilan, bakat, minat dan kemampuan. Negara/Pemerintah juga wajib
membenahi keseluruhan sistem perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia dan
anggota keluarganya yang mencerminkan nilai kemanusiaan dan harga diri sebagai
bangsa mulai dari sebelum bekerja, selama bekerja dan setelah bekerja. Selain itu,
penempatan dan perlindungannya juga harus dilakukan secara terpadu antar instansi
pemerintah baik di pusat maupun daerah dengan menyertakan masyarakat.
Adapun upaya yang telah dilakukan Komnas HAM dalam penanganan pengungsi antara lain: 1) Komnas HAM RI membentuk Tim Monitoring Efektivitas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Tim TPPO); 3) Mendorong adanya persamaan persepsi di antara Aparat Penegak Hukum dan penguatan kapasitas SDM melalui Pendidikan dan pelatihan gabungan APH termasuk anggota Pengamanan Perbatasan Pamtas) TNI yang bertugas di perbatasan Indonesia-Malaysia; 3) Mengalokasi anggaran serta mengefektifkan fungsi dan peran Satgas/Gugus Tugas TPPO, Penguatan fungsi pencegahan melalui diseminasi dan sosialisasi tentang Migrasi yang aman dari bahaya TPPO.
Terkait dengan Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri di Aceh, Komnas HAM Perwakilan Aceh melalui Surat Nomor 741/PM.00.02/III/2022 menyampaikan rekomendasi kepada Gubernur Aceh, antara lain agar membentuk Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri sebagaimana diamanatkan dalam SE Kementerian Dalam Negeri Nomor 300/2307/SJ. Pada tanggal 20 Februari 2023, Gubernur Aceh melalui Keputusan Gubernur Aceh Nomor 300/729/2023 telah membentuk Satgas Pengungsi Luar Negeri di Aceh.
Sementara itu, turut
hadir menjadi narasumber dalam pelatihan tersebut yaitu Dirreskrimum Polda Aceh
Kombes. Pol. Ade Harianto, Kementerian Luar Negeri, Kepala Sub Bidang Informasi
Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Aceh, Ketua Panglima Laot Aceh dan perwakilan
dari UNHCR, Kesbangpol Provinsi Aceh, serta Dinas Sosial Provinsi Aceh (SML/YU/SP)