Banda Aceh - 14 Juni 2023, Kepala
Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama menjadi pemateri pada kegiatan ”Diklat
Khusus Profesi Advokat (DKPA)” Tahun 2023 yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh bekerjasama dengan Kongres Advokat
Indonesia (KAI) pada tanggal 12 s.d. 17 Juni 2023.
Dalam kesempatan tersebut, Sepriady memaparkan materi
tentang “Hukum Acara Pengadilan HAM” meliputi penangkapan, Penahanan, Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan,
Sumpah dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Tema ini tepat untuk
dijadikan bahan diskusi, mengingat Indonesia, khususnya Aceh memiliki histori/masa
lalu mengenai pelanggaran HAM berat.
Tidak jarang isu politik mempengaruhi proses
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Saat ini pemerintah telah mengakui 12
kasus pelanggaran HAM berat (3 kasus berada di Aceh), namun publik menilai
pengakuan tersebut sebagai alibi untuk menutupi banyaknya kasus pelanggaran HAM
berat yang terjadi di Aceh.
Menanggapi hal tersebut, Sepriady mengatakan perlunya
prinsip kehati-hatian dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat dan pentingnya
memahami/mempelajari dengan cermat perbedaan penyelesaian kasus pelanggaran HAM
berat. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat diselesaikan
melalui mekanisme yudisial (Pengadilan HAM) dan mekanisme non yudisial (KKR).
Sepriady menambahkan bahwa pemulihan korban pelanggaran HAM yang berat secara
non yudisial tanpa menegasikan mekanisme yudisial.
“Tidak semua kasus pelanggaran HAM berat dapat
diselesaikan melalui pengadilan. Namun, dapat melalui pengungkapan kebenaran,
reparasi, reformasi institusi untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM yang
berat dan rekonsiliasi untuk mengharmonikan kembali hubungan yang rusak di masa
lalu. Oleh karena itu, keterlibatan KKR menjadi penting”, imbuh Sepriady
Sepriady juga menambahkan bahwa dalam
mengungkap atau menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, kita dihadapkan pada
pilihan apakah kita mengedepankan kebenaran atau keadilan. Jika dikaitkan
dengan model penyelesaian konflik bersenjata internal, penyelesaian Aceh dapat
dilakukan, Pertama, “to Forget and to forgive” (Melupakan
dan memaafkan: artinya tidak ada pengadilan dan lupakan masa lalu), Kedua, “Never
to forget, never to forgive”,
(Tidak melupakan dan tidak memaafkan). Ketiga, Never to forget
but to forgive” (Tidak melupakan, tetapi kemudian memaafkan.
Artinya, ungkapkan terlebih, sampaikan kebenaran, kemudian ampuni).
Dalam kesempatan tersebut, salah
satu peserta menanyakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM yang berlaku surut. “Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini, diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc yang bertujuan untuk mengadili pelaku
pelanggaran HAM yang terjadi sebelumnya”, tegas Sepriady. (YU/YM/SP)