Banda Aceh - Sabtu, 24 Desember 2022,
Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama menjadi pemateri pada
Kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Fakultas Hukum Universitas
Syiah Kuala Tahun 2022. Kegiatan tersebut merupakan kerjasama antara Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN
PERADI) dan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala yang diikuti oleh 65
peserta. PKPA FH Unsyiah Tahun 2022 ini
diselenggarakan mulai pada tanggal 9 Desember 2022 hingga 15 Januari 2023.
Dalam
kesempatan tersebut, Sepriady memaparkan materi tentang “Hukum Acara Pengadilan
HAM” sebagai pengantar diskusi bagi peserta PKPA. Sebelum masuk ke hukum acara,
Sepriady menerangkan secara ringkas definisi Hak Asasi Manusia, Pelanggaran HAM
dan Pelanggaran HAM Berat, serta Pengadilan HAM. Menurutnya, istilah
Pelanggaran HAM Berat (Groos Violation on human rights) telah menjadi
bagian dari hukum positif nasional sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pada 23 November 2000. Uniknya, undang-undang
tersebut tidak
mendefinisikan apa itu Pelanggaran berat HAM, tetapi hanya mengelompokkan Pelanggaran berat HAM dalam
dua jenis kejahatan, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (yang
merupakan international serious crimes dengan konsekuensi bahwa
penerapan jurisdiksi pidana pelaku Kejahatan demikian merupakan kewajiban semua
negara (erga omnes). Kedua kejahatan tersebut dapat diadili oleh
Pengadilan Pidana Internasional atau Pengadilan Ad-hoc Pidana Internasional.
Sebagai
pengadilan yang
ber-jurisdiksi terbatas dan khusus, yaitu
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan,
pengadilan HAM memiliki Hukum Acara tersendiri, dan hal tersebut diatur dalam Undang-Undang
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Bab IV pasal 11 sampai dengan pasal
33 yang meliputi penangkapan, penahanan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sumpah
dan pemeriksaan disidang pengadilan. Selain itu, undang-undang Pengadilan HAM
juga mengatur kewenangan Komnas HAM sebagai penyelidik dan Jaksa Agung sebagai
penyidik. Dijelaskan juga bahwa sepanjang tidak diatur dalam undang-undang Pengadilan
HAM, maka ketentuan Hukum Acara Perkara Pelanggaran HAM yang berat dilakukan
berdasarkan ketentuan Hukum Acara Pidana.
Sepriady
menambahkan sesuai dengan ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Pengadilan
HAM dan Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun 2001, telah dibentuk empat
Pengadilan HAM yaitu: Pengadilan HAM Jakarta Pusat, Pengadilan HAM Surabaya, Pengadilan HAM
Makassar, dan Pengadilan HAM Medan. Dari empat Pengadilan HAM tersebut hanya Pengadilan
HAM Jakarta Pusat dan Pengadilan HAM Makassar yang pernah bersidang, sementara
Pengadilan HAM Medan, dimana Aceh masuk dalam jurisdiksinya belum pernah
bersidang untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat.
Mengenai kasus dugaan pelanggaran HAM
berat di Aceh, Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro justitia terhadap
lima kasus, namun baru empat kasus yang telah diserahkan oleh Komnas HAM
sebagai penyelidik kepada Jaksa Agung yakni peristiwa Simpang KKA (Simpang
Kraft) Aceh Utara, peristiwa Rumoh (Rumah) Geudong di Kabupaten Pidie,
peristiwa Jambo Keupok di Kabupaten Aceh Selatan dan peristiwa Bener Meriah. Sedangkan
satu kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang belum diselesaikan dan masih
dalam proses penyelidikan adalah Peristiwa Bumi Flora, Kabupaten Aceh Timur.
Menjawab
pertanyaan tentang kendala dan kemungkinan terdapat aspek politik dalam
penyelesaian pelanggaran HAM berat di Aceh, Sepriady menjelaskan bahwa masalah pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang berat masa lalu di Aceh merupakan salah satu isu yang sangat pelik yang kita hadapi dan karenanya
memerlukan kehati-hatian. Dalam
konteks ini, setidaknya kita
dihadapkan dengan
kebutuhan untuk menyelamatkan terlebih dahulu proses transisi ke demokratis ketimbang mendahulukan
kewajiban internasional dalam menangani pelanggaran HAM berat masa lalu, atau
dengan kata lain kita dihadapkan pada pilihan apakah kita mengedepankan
kebenaran atau keadilan. Jika dikaitkan dengan model penyelesaian konflik
bersenjata internal, penyelesaian Aceh dapat dilakukan, Pertama, “to Forget and
to forgive” (Melupakan dan memaafkan: artinya tidak ada pengadilan dan lupakan masa lalu), Kedua, “Never to forget, never to forgive”, (Tidak melupakan dan tidak memaafkan). Ketiga, Never to forget but
to forgive” (Tidak melupakan, tetapi kemudian memaafkan.
Artinya, Ungkapkan terlebih, sampaikan kebenaran, kemudian ampuni).
Dengan demikian, dalam konteks Aceh penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dapat diselesaikan melalui mekanisme yudisial (Pengadilan HAM) dan mekanisme non yudisial (KKR). Kedua mekanisme tersebut dapat saling melengkapi, keterlibatan KKR menjadi penting karena tidak semua kasus dapat diselesaikan melalui pengadilan, melainkan juga ada yang melalui pengungkapan kebenaran, reparasi, reformasi institusi untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM yang berat dan rekonsiliasi untuk mengharmonikan kembali hubungan yang rusak di masa lalu.Dalam kesempatan tersebut, salah satu peserta juga menanyakan perihal Tragedi Kanjuruhan dan kasus penembakan di KM 50, apakah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Menanggapi pertanyaan tersebut, Sepriady menjelaskan bahwa kedua kasus tersebut bukan termasuk pelanggaran HAM yang berat karena tidak memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM berat, antara lain meluas atau sistematis. Sebagai informasi kasus tersebut diselidiki melalui penyelidikan pemeriksaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 Tentang HAM.
Diakhir kegiatan,
Sepriady memberikan motivasi dan semangat kepada para peserta PKPA untuk menjadi
advokat yang berwawasan HAM dan berintegritas dalam menegakkan keadilan. Advokat
berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan
peraturan perundang-undangan, dan karenanya kedudukannya setara atau sederajat
dengan penegak hukum lainnya seperti Polisi, Jaksa dan Hakim sebagaimana
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. (SML/YU/SP)