Sekretariat Komnas HAM di Provinsi

Jalin Koordinasi, Komnas HAM bersama Ombudsman, BP3MI dan Rumoh Transparansi Berbagi Peran Lakukan Pengawasan terhadap Pelayanan Awak Kapal Pekerja Migran Asal Aceh

Banda Aceh – Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama, bersama Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty, dan Kepala Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Aceh, Jaka Prasetiyono, serta Direktur Rumoh Transparansi, Crisna Akbar, menggelar rapat koordinasi (rakor) terbatas terkait pencegahan maladministrasi dalam pelayanan dan perlindungan terhadap Awak Kapal Pekerja (AKP) Migran asal Aceh pada Jum’at, 16 Desember 2022 di Kantor Ombudsman RI Perwakilan Aceh.

Dalam rakor yang diinisiasi oleh Ombudsman Perwakilan Aceh tersebut, Direktur Rumoh Transparansi, Crisna Akbar menyampaikan temuan mereka tentang adanya praktik perbudakan terhadap AKP migran asal Aceh yang bekerja pada kapal asing, baik pada awak kapal perikanan maupun kapal niaga, yang meningkat drastis ketika pandemi Covid-19 pada tahun 2019. Mekanisme perekrutan awak kapal ini tidak ada yang dari Aceh, namun banyak dilakukan dari beberapa wilayah, diantaranya Tegal, Pemalang, Jakarta, Surabaya dan Cirebon. Dalam mekanisme perekrutan ditemukan adanya potensi maladministrasi yang dilakukan oleh beberapa instansi negara dan dinilai tidak sesuai aturan, mulai dari penerbitan berbagai izin untuk perusahaan perekrut, proses pengurusan izin kerja, proses pembuatan kontrak kerja, sampai pengawasan ketika awak kapal berada di atas kapal asing. Selain itu, ditemukan juga kontrak di atas kontrak, seperti yang terjadi di Peru. Temuan ini terjadi karena lemahnya pencegahan, penindakan dan pengawasan dari berbagai pihak terkait, oleh karena itu harus ada perbaikan tata kelola bagi pekerja migran tersebut.

Menanggapi temuan tersebut, Kepala BP3MI Aceh, Jaka Prasetiyono mengakui adanya permasalahan yang terjadi menandakan negara belum sepenuhnya hadir melindungi tenaga kerja migran Indonesia, yang merupakan penyumbang devisa negara kedua tertinggi setelah migas. Oleh karena itu, diharapkan agar semua pihak terkait turut melindungi dan menyejahterakan mereka, karena hal tersebut merupakan kewenangan bersama bukan hanya permasalahan BP3MI.

Jaka menjelaskan, BP3MI bertindak berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Dalam aturan tersebut diatur kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah. Pasal 40 mengatur kewenangan Provinsi, Pasal 41 kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Pasal 42 mengatur kewenangan Pemerintah Desa. Namun, setelah lima tahun UU tersebut disahkan, masih banyak Pemerintah Kabupaten/Kota yang belum menetapkan juknis lebih lanjut untuk perlindungan pekerja migran.

Lebih lanjut Jaka mengatakan, baru empat kabupaten/kota di Aceh yang membuat MoU dengan BP3MI yaitu Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Barat dan Aceh Tengah. Beberapa Pemerintah Kabupaten/Kota sedang berproses melakukan koordinasi dan pembahasan.

Sementara itu, Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama mengatakan bahwa koordinasi antar lembaga ini merupakan langkah yang tepat dilakukan, sebab untuk Aceh isu pelanggaran HAM bagi awak kapal pekerja migran masih tergolong baru dan memerlukan perhatian dari semua pihak, serta penting untuk dicermati dan ditangani, apalagi setelah diterbitkannya PP Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran. Oleh karena itu, Komnas HAM Perwakilan Aceh bersama Ombudsman RI Perwakilan Aceh dan BP3MI Aceh sepakat untuk mencoba menangani secara bersama isu terkait awak kapal niaga migran dan awak kapal perikanan migran tersebut, bukan hanya penegakan atau penyelesaian kasus, namun dimulai dari pencegahannya, misalnya melakukan diseminasi bersama yang melibatkan Komnas HAM Perwakilan Aceh, Ombudsman RI Perwakilan Aceh dan BP3MI Aceh. Koordinasi ini tentunya dengan tetap memperhatikan tugas dan fungsi dari masing-masing Lembaga sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang.

Lebih lanjut, Sepriady menjelaskan bahwa Komnas HAM dapat melakukan upaya penegakan apabila ada aduan terkait isu tersebut. Hal ini merujuk kepada Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa “pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.

“Komnas HAM Perwakilan Aceh secara prinsip mendukung adanya kerjasama dengan Ombudsman RI Perwakilan Aech dan BP3MI Aceh serta dapat bersinergi satu sama lain. Komnas HAM Perwakilan Aceh dapat menjalankan fungsi pemantauan/penyelidikan, serta pengkajian dan penyuluhan, sedangkan Ombudsman dapat melihat dari aspek maladministrasinya. Sementara itu BP3MI Aceh, dapat melakukan diseminasi dan pengkajian terkait hal apa saja yang ditemui dengan berbagai SOP yang ada, serta dengan didukung data-data dari pihak lain yang terkait, termasuk Rumoh Transparansi”, imbuh Sepriady.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty yang mengatakan bahwa Ombudsman RI Perwakilan Aceh juga mendukung adanya kerjasama antar pihak tersebut serta dapat berbagi peran. Ombudsman RI dapat melakukan pengawasan pelayanan, BP3MI dapat melakukan perlindungan PMI, dan terkait pelanggaran-pelanggaran HAM merupakan isu yang bisa ditangani oleh Komnas HAM. Selain itu, Dian juga menyatakan bahwa isu pekerja migran awak kapal, baik kapal perikanan maupun kapal niaga merupakan isu pelayanan publik yang belum pernah dicermati khusus oleh Ombudsman RI Perwakilan Aceh. Ombudsman RI akan menindaklanjuti permasalahan tersebut melalui narahubung pada pemerintah daerah untuk memastikan MoU dan PKS dengan kepala daerah dapat segera dilakukan. (SML/SM/SP)