Makassar-Sejarah penegakan hak asasi manusia di Indonesia mulai terukir kembali lewat Pengadilan HAM Peristiwa Paniai.
Hasil penyidikannya akan disidangkan pada 21 September 2022 mendatang dan para civitas akademika diharapkan mampu mengawal hingga hasil akhirnya berpihak pada prinsip keadilan.
“Pengadilan HAM Paniai ini adalah pengadilan HAM yang kedua di Makassar. Yang pertama dulu memeriksa peristiwa yang terjadi di Abepura pada 2004 atau 2005,” ucap Amiruddin dalam Diskusi Publik: "Peran Sivitas Akademika dan CSO Pembela HAM Dalam Mengawal Pengadilan HAM Peristiwa Paniai" yang digelar secara daring dan luring di Ruang Video Conference FH Universitas Hasanuddin, Makassar, Selasa (13/9/2022).
Secara kronologis, pengadilan untuk kasus Paniai menjadi yang pertama setelah hampir 15 tahun. Momentum langka ini, disebut Amir, sebaiknya dimanfaatkan oleh kalangan akademisi terutama di bidang hukum untuk mengkaji ulang terkait efektivitas penerapan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Saya ingin mengajak rekan-rekan semua, menjadikan Pengadilan HAM menjadi momentum untuk memeriksa ulang apakah seluruh isi dan implementasi UU ini sudah memadai atau belum?” Apakah seluruh prosedurnya, formil maupun materilnya perlu dikoreksi? Ataukah perlu diubah agar memadai dalam mengadili peristiwa seperti ini? Inilah tantangan bagi kita ke depan,” papar Amir.
Amir berharap, pengadilan kasus Paniai harus mampu memberikan keadilan bagi korban. Lantaran ketiga pengadilan HAM sebelumnya yang mengadili kasus Timor-Timur, Tanjung Priok, dan Abepura relatif tidak menemukan para pelaku kejahatan utamanya. Bahkan para tersangka dalam perkara tersebut tidak berhasil dijerat hukum dan bebas.
“Jika berjalan dengan baik dan fair, semestinya pengadilan ini bisa menjadi modal untuk mewujudkan perdamaian di Papua,” ucap Amir.
Narasumber lainnya, akademisi Universitas Cenderawasih Elvira Rumkabu menilai Pengadilan HAM Peristiwa Paniai penting untuk memastikan peristiwa serupa tidak berulang kembali. Selain itu, pengadilan tersebut diyakini mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua kepada negara.
Elvira juga menyampaikan, para akademisi harus terlibat dalam realitas sosial politik di masyarakat. Pemikiran tersebut penting sebagai bentuk tanggung jawab serta tugas seorang akademisi terhadap keberpihakan pada kemanusiaan.
Diskusi hasil inisiasi bersama antara Komnas HAM dengan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini dibuka oleh Wakil Dekan Bidang Akademik dan Pengembangan Dr. Maskun SH. LL.M. Para narasumber lain yang hadir antara lain, akademisi Universitas Hasanuddin Dr. Kadaruddin S.H., M.H, dan Direktur LBH Makassar Muhammad Haedir. (AM/IW)
Short link